Senin, 18 Maret 2013

SANTRI ABADI : KONSEP FILM OLEH BACHTIAR HANDOKO

Konsep film : Santri Abadi

SANTRI ABADI (konsep tanpa dialog)

kisah ini dikarang oleh : Bachtiar handoko

Kisah ini terjadi disebuah Pesantren disebuah desa yang terletak tidak jauh dari kota yang merupakan pesantren sekaligus panti asuhan dimana anak-anak yang ditelantarkan orang tuanya sejak bayi ditampung disini, pesantren ini mengutamakan pelajaran agama walaupun di pesantren ini juga diajarkan pelajaran umum seperti disekolah lainnya, hal yang unik dari pesantren ini adalah murid-muridnya yang semuanya merupakan santri laki-laki dan mereka tidak diizinkan keluar dari lingkungan pesantren dengan alasan demi menjaga kesucian murid-muridnya dari dunia luar.

Dikisahkan bahwa Barra sang tokoh protagonis memiliki teman bernama Guntoro, Frengki, dan Dika. Masing-masing dari mereka memiliki sifat yang unik yang membuat persahabatan mereka semakin seru. Mereka memiliki cita-cita masing-masing yang ingin mereka capai. Barra ingin menjadi Penulis, karena itulah sebagian waktunya ia habiskan untuk membaca novel-novel teenlit di perpustakaan pesantren. Dika ingin jadi musisi, maka dari itu setiap orang yang lewat kamar Dika pasti mendapati Dika yang sedang asik bermain Biola. Dikisah ini Frengki adalah pemeran utama sekaligus pemeran antagonis, dia bercita-cita jadi Tentara, karena itulah di kisah ini Frengki memiliki sifat yang keras, ambisius, egois, namun tidak pernah berpikir dua kali sebelum bertindak, di kisah ini Frengki menjadi Antagonis. Guntoro ingin menjadi ustadz, tetapi dia tidak pernah serius dalam mendalami ilmu agama, dia terlalu santai dalam menghadapi sesuatu.

Suatu hari, keempat sekawan ini mendadak menemukan sebuah pertanyaan besar dalam hidup mereka selama 15 tahun di pesantren al-lalala-yeyeye, “seperti apa itu wanita?”. Pertanyaan itu selalu melekat dipikiran mereka selama berminggu-minggu hingga akhirnya mereka berinisiatif untuk nekat memanjat benteng pesantren yang sudah agak rusak dan mudah dipanjat karena hanya setinggi 2 meter. Frengki yang memang sudah muak dengan pesantren al-lalala-yeyeye mencoba meyakini teman-temannya untuk pergi keluar bersama dirinya beberapa jam saja dan kemudian kembali lagi ke pesantren. Namun Barra dan Dika tidak mau ikut karena takut ketahuan oleh kyai Laksono, sang pemilik pesantren. Guntoro yang tadinya ingin ikut pun berhasil dibujuk oleh Barra dan Dika untuk tidak ikut, akhirnya Guntoro pun tidak jadi ikut. Frengki pun akhirnya pergi pada pagi hari sendirian menuju kota dengan menumpang mobil box.

Sore hari pun tiba, Frengki pulang ke pesantren dengan menumpang mobil box lagi, sesampainya dihutan dekat pesantren, hari pun mulai gelap, Frengki tiba di pesantren jam 8 malam setelah memanjat tembok setinggi 2 meter. Frengki pun menceritakan kepada teman-temannya seperti apa itu wanita, dan seperti apa kehidupan didunia luar, Frengki berusaha meyakini teman-temannya bahwa dunia luar itu lebih menyenangkan dibanding kehidupan pesantren yang monoton dan membosankan. Frengki semakin egois memaksa teman-temannya pergi, namun teman-temannya tetap bersikeras ingin tetap di pesantren dan menunggu 3 tahun lagi agar mereka bisa cukup umur dan siap menghadapi dunia luar. Barra, Dika, dan Guntoro tetap memilih untuk menjadi santri abadi sampai waktunya tiba bagi mereka untuk menghadapi kehidupan yang lebih keras diluar sana.

Hari-hari berlalu, sikap Frengki semakin memburuk seiring semakin seringnya Frengki mengunjungi dunia luar yang penuh godaan nafsu duniawi. Frengki menjadi sombong dan sering menjahili teman-teman lamanya, sembunyi-sembunyi ternyata Frengki memiliki handphone yang didapatnya dari teman barunya didunia luar. Semakin jauh nya Frengki dari teman-teman lamanya membuat Barra, Dika, dan Guntoro resah, mereka takut kehilangan teman seperjuangan mereka. Mereka selalu berusaha agar Frengki ingin tetap dipesantren dan melanjutkan hingga 3 tahun lagi seperti yang dikatakan pak Kyai Laksono bahwa murid dipesantren akan diperbolehkan pergi meninggalkan pesantren setelah berumur 18 tahun. Tapi Frengki tidak sabar dan mencari cara agar bisa leluasa pergi dari pesantren tanpa merasa takut kehilangan tempat tinggal.

Hari ini tepat 1 bulan semenjak Frengki pertama kali pergi ke dunia luar. Hari ini rencananya Frengki ingin pergi lagi, tapi tingkah Frengki yang mencurigakan sejak sebulan yang lalu ternyata telah diketahui oleh Kyai Laksono. Bahkan pak Kyai telah mengetahui bahwa Frengki memiliki Handphone, namun pak Kyai tetap membiarkannya dan menunggu kemungkinan terburuk yang akan Frengki lakukan setelah menginjakkan kaki didunia luar. Hal ini nantinya akan menjadi contoh bagi santri lain bahwa dunia luar benar-benar keras dan kejam bila mereka belum siap untuk menghadapinya.

2 bulan berlalu, Frengki ketahuan menyimpan buku majalah dewasa dibawah kasur asramanya. Kejadian ini tak bisa dibiarkan lagi, pak Kyai pun segera memanggil Frengki. Barra yang mengetahui kejadian ini segera memberitahu teman-temannya bahwa Frengki telah benar-benar berubah, mereka tidak mengenali Frengki yang sekarang. Mereka hanya mengenali Frengki yang dulu, mereka sedih jika kemungkinan terburuk itu terjadi, bahwa Frengki akan diusir dari pesantren. Barra mulai memikirkan solusi agar Frengki tidak dikeluarkan, Dika dan Guntoro pun memikirkan hal yang sama, mereka benar-benar sahabat yang sejati, bahkan setelah Frengki jahat kepada mereka dan menganggap mereka lemah, mereka tetap bersabar dan menunggu Frengki yang dulu kembali.

Ditempat yang laing, Frengki sedang dihadapi dengan amarah Kyai Laksono. Pak Kyai memarahi Frengki berjam-jam, bahkan pak Kyai tak tahan ingin menamparnya jika tak ingat bahwa Frengki merupakan salah satu dari santri kesayangannya, dulu. Pintu diketuk dan Barra, Dika, serta Guntoro pun masuk, mereka menyampaikan niat mereka bahwa jika Frengki keluar, maka mereka pun harus ikut keluar. Tapi Frengki dengan angkuh menyuruh mereka pergi karena menganggap mereka lemah dan tidak bisa menemaninya menghadapi dunia luar. Keesokan harinya, Frengki pun diusir dari pesantren dan Frengki pun pergi tanpa pamit dengan kawan lamanya.

3 tahun berlalu, kabar Frengki sudah tak pernah terdengar lagi di pesantren. Kini pesantren terasa tidak seru lagi tanpa Frengki yang biasanya selalu menemani mereka sebagai 4 santri abadi. Kini waktunya Barra, Dika, dan Guntoro untuk merantau dari pesantren, bahkan sebagai santri yang abadi pun mereka akhirnya bisa lulus juga. Pak Kyai menasehati mereka untuk tidak terlalu cepat mengambil keputusan tanpa berpikir dua kali seperti Frengki. Ketiga sekawan itu pun pergi untuk mengadu nasib didunia luar. Dika berbekal kemampuan bermusik yang telah matang setelah 18 tahun tinggal di pesantren dan 14 tahun menimba ilmu di pesantren kini merantau ke tanah kelahirannya di bandung dan bekerja sebagai budayawan dan sebagai guru musik bagi anak – anak yang mencintai budaya sunda. Barra kini menjadi seorang penulis novel yang telah menerbitkan novel-novel berkualitas yang laku dipasaran hasil didikan pesantren selama 14 tahun menimba ilmu. Guntoro kini telah menggapai cita-citanya sebagai ustadz yang memiliki banyak penggemar bahkan sudah sering muncul ditelevisi.

1 tahun setelah kesuksesan mereka, mereka memutuskan untuk bertemu kembali. Mereka merencanakan untuk bertemu di pesantren tempat mereka menimba ilmu. Barra berangkat menggunakan motor sport kesayangannya yang ia beli dari hasil keringat sendiri, Dika dan Guntoro menggunakan mobil mereka masing-masing yang sejak dulu menjadi impian mereka. Barra dan Dika sudah sampai di pesantren tapi entah kenapa Guntoro tidak kunjung sampai. Tiba-tiba ada pesan dari Guntoro bahwa ia dirampok didaerah jalan raya pinggir hutan yang menuju ke kota. Barra dan Dika pun bergeas memacu kendaraan mereka menuju lokasi, ternyata Guntoro sedang sekarat dengan wajah penuh darah dan keadaan mobil yang sudah tidak karuan lagi dalamnya. Dika segera membawa Guntoro kerumah sakit dan Barra segera mengejar sang perampok yang menurut Guntoro belum pergi jauh.


Barra memacu kendaraannya dengan cepat dan Nampak dari kejauhan sebuah motor yang dikendarai orang memakai jaket kulit sedang membawa koper yang mirip dengan koper uang milik Guntoro. Barra segera mengejar perampok tersebut dan memepet motor sang perampok hingga hampir mendekati jurang. Sang perampok terpojok, dia tak bisa mengambil senjatanya karena tangannya sedang memegang koper uang milik Guntoro, dia pun menyerang Barra dengan koper tersebut hingga Barra terjatuh dari motornya. Sang perampok terkejut, dia takut orang tersebut mati, karena dia belum pernah membunuh orang lain sebelumnya, biasanya dia hanya membuat korbannya sekarat. Sang perampok berhenti dan mendekati orang yang tadi dia pukul hingga terjatuh, alangkah terkejutnya si perampok bahwa si perampok mengenali wajah itu. Itu adalah Barra, teman seperjuangannya di pesantren, dan perampok itu ternyata adalah Frengki.

Frengki mengguncang-guncang tubuh sobat lamanya tersebut tapi tidak ada reaksi apa-apa, Barra terjatuh cukup parah karena terjatuh dari kecepatan tinggi dengan kepala membentur aspal, untungnya dia mengenakan Helm Full-face yang kuat melindungi kepalanya, dia terseret cukup jauh di aspal setelah jatuh dari motornya, motornya hancur, dan sepertinya tulang lengan dan kaki Barra patah. Entah kenapa Frengki merasa begitu bersalah telah mencederai teman seperjuangannya sendiri yang tidak pernah jahat padanya meskipun dia selalu bersikap kejam dan mengabaikan temannya itu. Samar-samar Frengki mendengar Handphone disaku jaket kulit Barra berbunyi, Frengki melihat tulisan nama kontak di Handphone tersebut dan ternyata Dika yang menelpon, Frengki mengangkat teleponnya, “Barra, kamu dimana, gimana perampoknya? Cepat kamu kerumah sakit Harapan Bunda kamar 30A, Guntoro ingin bertemu kamu!” suara dari sana berkata panik.
Frengki pun menutup teleponnya tanpa menjawab. Tiba-tiba Barra berkata lirih “cepat kamu susul Guntoro dan Dika” . “Barra, maafkan aku bar! Aku tidak bermaksud melakukan semua ini” kata Frengki sambil matanya mulai basah oleh air mata karena melihat temannya tergeletak tak berdaya dipangkuannya. “jangan pikirkan aku bang. Bang Frengki harus menyusul Dika dirumah sakit” kata barra seakan nafasnya mulai habis. “tapi bar...” belum sempat Frengki menyelesaikan kata-katanya, Barra sudah meninggal dipangukan teman lamanya, Frengki. Dia meninggal karena ingin membalas perbuatan orang yang telah merampok sahabatnya.

Frengki meninggalkan Barra setelah menelepon ambulance untuk menjemput Barra. Frengki dengan cepat menuju ke rumah sakit sambil berharap masih bisa meminta maaf dari Guntoro dan Dika. Sesampainya dirumah sakit, Frengki ternyata mendapati Dika tengah menangisi sesuatu. Ternyata Guntoro juga telah tiada setelah kehabisan cukup banyak darah akibat luka dari senjata tajam ditubuhnya. Frengki memanggil Dika dengan pelan untuk meminta maaf, tapi apa daya, Dika telah terlanjur membenci Frengki, omongan Frengki tidak ada yang Dika hiraukan hingga akhirnya Dika berkata “abang puas sekarang? abang puas melihat 2 teman seperjuanganmu mati didepan matamu bang? Mati dengan kedua tangangmu? Apa ini yang abang mau sejak dulu ?? pantas saja abang selalu jahat kepada kami, dan selalu menganggap kami lemah, kini terbukti sudah kami memang lemah, makanya abang bisa membunuh Barra dan Guntoro dengan mudah, kenapa tak sekalian membunuhku bang?” kata Dika dengan bencinya. Frengki hanya memohon maaf mati-matian walaupun tak dihiraukan oleh Dika, akhirnya Dika pergi meninggalkan Rumah sakit untuk mengurus pemakaman kedua teman baiknya tersebut.
Barra dan Guntoro dikubur bersebelahan agar semua orang bisa mengenali jasad 2 sekawan yang seumur hidupnya tidak mengenal orang tua kandung mereka, tapi sebagai gantinya, mereka memiliki sahabat yang baik sebagai ganti dari kedua orang tua yang tak pernah muncul dikehidupan mereka, bahkan nama orang tua mereka pun, mereka tidak tau. Pemakaman mereka dihadiri oleh santri-santri pesantren al-lalala-yeyeye dan berjalan dengan hikmat layaknya seorang tentara yang mati terhormat. Kyai Laksono yang mengumandangkan adzan dikuburan mereka berdua, Frengki tidak berani menatap wajah Dika karena malu atas perbuatannya. Frengki berkomitmen untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya ke polisi agar perasaan bersalah dihatinya bisa terlunaskan.

Sepulang dari pemakaman, Frengki langsung menuju ke kantor polisi terdekat untuk menyerahkan diri. Tapi ternyata Kyai Laksono telah mengetahui bahwa Frengki akan menyerahkan diri ke polisi dan telah menunggunya disana. Pak Kyai mengatakan kepada kepala polisi untuk mengganti hukuman Frengki untuk mengabdi di Pesantren seumur hidupnya agar dia bisa menjadi orang yang berguna untuk orang lain di sisa hidupnya. Kepala polisi pun menyetujui nya dan akhirnya Frengki ikut ke pesantren lamanya tempat dia menuntut ilmu dahulu bersama 3 sahabat lamanya. Disana Ia menjadi seorang pengurus masjid, tukang sapu-sapu pesantren, dan sekaligus meneruskan pendidikannya yang pernah terhenti ditengah jalan. Kini ia benar-benar sendiri dipesantren, bahkan ranjang kosong tempat Guntoro dahulu tidur pun masih ada dikamarnya di asrama, dia ingat bahwa dia sekamar dengan Guntoro, sedangkan Barra sekamar dengan Dika.

Kini ia benar-benar menjadi seorang Santri yang abadi.


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kategori

More on this category »